Baleg Undang Komisi Kejaksaan Minta Masukan RUU Kejaksaan
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengundang Komisi Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) untuk mendapatkan berbagai masukan terkait dengan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung ini merupakan salah satu RUU yang harus segera dipersiapkan karena masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas Tahun 2011.
Wakil Ketua Baleg Dimyati Natakusumah yang memimpin rapat tersebut mengatakan, Baleg tentunya memerlukan banyak masukan dan pendapat dari beberapa nara sumber/pakar dan beberapa stakeholders lainnya untuk menyempurnakan RUU dimaksud.
Sebelumnya, kata Dimyati di gedung DPR, Rabu (14/(9) Baleg juga telah menerima masukan dari beberapa narasumber/Pakar.
Dimyati mengatakan, perubahan RUU ini sangat diperlukan agar Kejaksaan menjadi institusi yang kredibel dan dipercaya oleh masyarakat.
Anggota Baleg Subyakto mengatakan, masukan dari Komisi Kejaksaan ini tentunya sangat diharapkan agar bagaimana dapat membuat sebuah terobosan untuk membenahi Kejaksaan.
Sekarang ini, katanya, banyak orang apatis dengan Kejaksaan dan teori jauh berbeda kebenarannya dengan praktek di lapangan. Banyak terjadi transaksional perkara dan kalau ini dibiarkan terus menerus, masyarakat akan semakin tidak mempercayai terhadap institusi Kejaksaan.
Subyakto berharap, Komisi Kejaksaan mempunyai peran dan fungsi yang sangat luar biasa baik untuk rekrutmen jaksa, penempatan jaksa dan peran untuk membenahi institusi Kejaksaan yang amburadul.
Pada kesempatan tersebut, Anggota Komisi Kejaksaan Rentawan Djanim mengatakan, dia menyambut baik perubahan terhadap UU tentang Kejaksaan ini Dari hasil monitoring kedaerah-daerah baik Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia bahwa pembaharuan Kejaksaan perlu dilaksanakan dan harus mampu menciptakan birokrasi Kejaksaan yang modern khususnya dalam birokrasi penanganan perkara.
Sebab selama ini, katanya, birokrasi Kejaksaan dalam menangani perkara masih bersifat birokrasi konvensional, birokrasi prosedural dan masih sentralistik, masih adanya laporan keatasan dan menggunakan garis komando. “Ini juga yang perlu dilakukan perubahan.,” katanya.
Hal ini menurutnya menyebabkan jaksa menjadi penegak hukum yang tidak punya otoritas dalam menentukan nasib perkara.
Rentawan menyoroti perubahan Pasal 2 bahwa Kejaksaan ini nantinya dibawah Badan yang sebelumnya berupa lembaga pemerintah yang bertugas di bidang kekuasaan kehakiman.
Menurutnya, sulit untuk menempatkan Kejaksaan itu tidak di bawah eksekutif, karena selain Kejaksaan harus melaksanakan kebijakan penegakan hukum yang ditetapkan pemerintah atau eksekutif, secara politis juga Kejaksaan yang dimintai pertanggungjawaban oleh rakyat tentang baik buruknya penegakan hukum adalah pemerintah. “Dengan demikian sulit rasanya bila Kejaksaan harus menjadi lembaga tersendiri di luar lembaga pemerintah,” katanya.
Sementara Ketua Komisi Kejaksaan Halius Hosen menyoroti masalah rekrutmen Jaksa. Menurutnya, keberhasilan seorang Jaksa ditentukan dari awal rekrutmen. Jika Kejaksaan ke depan menginginkan bibit-bibit unggul harus diawali dengan ketatnya rekrutmen jaksa.
Dia mencontohkan, saat dia menjadi Kepala Diklat di Kejaksaan dan melakukan tes terhadap calon jaksa, dari 448 peserta, hanya dua orang yang betul-betul lulus seleksi. Jika banyak calon jaksa yang lulus seleksi, hal ini menunjukkan karena longgarnya aturan-aturan yang diterapkan dalam proses seleksi CPNS.
Menurutnya, hal terbaik yang harus dilakukan adalah rekrutmen ini tidak lagi dilakukan Kejaksaan, tetapi oleh sebuah badan independen. Walaupun diakui bahwa cara ini memerlukan biaya tinggi dan tentunya akan memberatkan bagi APBN. (tt)